MENULIS dan membaca adalah dua sisi mata uang yang tak mungkin dipisahkan satu sama lain. Menulis tanpa membaca (baik tekstual maupun kontekstual) akan hanya melahirkan tulisan yang kering, dangkal, dan bahkan ngawur. Sebaliknya, membaca tanpa menulis mengakibatkan ide-ide yang berkeliaran hanya mengendap di dunia tanpa rupa. Jika sekelibatan ide itu dimunculkan melalui lisan umpamanya, boleh jadi ia akan melayang-layang sekejap saja termakan waktu. Maka betul jika pepatah arab menuturkan,”ilmu ibarat hewan buruan, tulisan adalah tali kekangnya. Maka, ikatlah hewan buruanmu dengan tali kekang yang kokoh.”
Agak menghela nafas ketika saya membaca tulisan M. Iqbal Dawami yang bertajuk Menjadi Guru yang Menulis (JP, 29/11/15). Ditengah euforia ucapan selamat yang selalu mengiringi perayaan hari guru saat, Iqbal menyentil kondisi guru menulis, yaitu guru yang sebagaian besar masih belum memiliki greget dalam dunia kepenulisan. Kata Iqbal, Pak Guru lebih memilih berbicara di depan murid-muridnya ketimbang suntuk mengolah kata dalam upaya transfer pengetahuan. Kalau toh misalkan ada aktifitas kepenulisan, itu sejatinya hanya menggugurkan ‘kewajiban’ demi kenaikan pangkat semata. Menulis belum menjadi kebiasaan dalam kegiatan pembelajaran. Jika pangkat telah naik, maka menulis akan mandeg sampai pada kenaikan pangkat berikutnya. Begitu seterusnya.
Pertanyaannya, ada apa dengan guru? Mengapa guru enggan, untuk tidak mengatakan malas menulis? Belum lagi jika dikaitkan dengan urusan membaca. Sudahkan para guru menjadikan kegiatan membaca sebagai ruttinitas kebutuhan yang harus dilakukan? Pertanyaan tersebut penting karena guru adalah sosok yang diharapkan mampu meningkatkan minat baca di kalangan anak didik. Bagaimana mungkin bisa meningkatkan tradisii literasi jika pak guru sendiri tidak memulainya dari dirinya sendiri.
Dari sini dapat dipahami, ketika Permen PAN dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 Tahun 2009 yang mengatur Jabatan Fungsional Guru Dan Angka Kreditnya mulai diterapkan, banyak guru kelabakan dan kebakaran jenggot. Bahkan PGRI selaku organisasi yang mewadahi guru berjuang keras agar permen tersebut direvisi. Bagaimana tidak. Sejak permen tersebut diterapkan tahun 2013, tidak sedikit guru yang tertahan di pangkat tertentu karena tak bisa mengumpulkan kredit point dari unsur publikasi ilmiah dan karya inovatif sebagaimana yang dipersyaratkan.
Tengok misalnya kasus yang terjadi di Tasikmalaya baru-baru ini. Dari 9000 guru yang mengusulkan kenaikan pangkat, hanya 271 yang dinyatakan lolos, sementara 8.729 sisanya gagal disebabkan materi yang digunakan untuk penulisan karya tulis lebih banyak copy paste. Padahal plagiasi adalah kejahatan intelektual yang semestinya tidak pantas dilakukan, apalagi oleh seorang guru. Sungguh memprihatinkan bukan?
Maka tak ada jalan lain, sudah saatnya pak guru berbenah. Sudah waktunya pak guru melirik dunia tulis agar desah keilmuan yang dimilikinya melampaui ruang dan waktu. Bukan hanya sekedar urusan naik pangkat, tapi ada kenikmatan tersendiri yang bisa dirasakan ketika seseorang berasyik-masyuk dengan rerimbunan jagad kata, dan tentu saja pak guru bisa mewariskan ilmu pada generasi sesudahnya.
Ada banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya dengan bergabung di komunitas tertentu yang concern terhadap kepenulisan, baik offline maupun online. Bukankah di era kekinian hal tersebut bukan lagi hal yang sulit? Ada Asosiasi Guru Penulis Indonesia (AGUPENA). AGUPENA yang didirikan tahun 2006 oleh para pemenang lomba penulisan naskah buku bahan bacaan yang diselenggarakan pusat perbukuan itu memiliki semangat membangun peradaban dan mencerdaskan kehidupan bangsa melalui kegiatan penulisan karya tulis. Alhasil, tak usah ditunda-tunda. Menulislah sekarang juga, wahai Pak Guru, agar namamu abadi sepanjang zaman.(*)
*) Em. Syuhada’, Guru SDN Talunrejo 3 Cabang Bluluk Lamongan,
Berkomentarlah yang baik dengan menggunakan bahasa yang sopan. Admin berhak menghapus komentar yang tidak pantas dan menyinggung.
Salam
EmoticonEmoticon